Pilihan Anda

“Peristiwa lainnya kualami pada hari berikutnya, ketika kami sedang mengarungi padang sahara dengan mengendarai mobil. Di tengah jalan, tibai-tiba salah satu ban mobil meletus, sedang sopir lupa membawa ban serep. Kontan aku marah dan gelisah serta susah, lalu aku bertanya kepada salah seorang teman dari kalangan pribumi yang bersamaku: "Apakah yang harus kita lakukan?" Ia mengingatkanku bahwa sikap marah-marah dalam keadaan seperti ini tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan ia akan mendorong pelakunya melakukan hal-hal yang bodoh dan sikap membabi buta. Karenanya, tiada pilihan bagi kami, kecuali menjalankan mobil dengan tiga roda. Akan tetapi, tidak lama kemudian mobil berhenti dan aku tahu bahwa bensinnya telah habis. Dalam keadaan seperti ini tiada seorang pun dari teman-teman pribumiku yang emosi. Mereka tetap tenang dengan pristiwa ini, bahkan mereka melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki seraya mendendangkan lagu yang membangkitkan semangat.
Tujuh tahun kujalani hidup bersama kaum Nomaden di gurun sahara membuat diriku merasa sadar bahwa kaum militan, orang-orang sakit jiwa, dan para pemabuk yang banyak didapati di benua Amerika dan benua Eropa, tiada lain merupakan korban dari peradaban yang segala sesuatu serba cepat sebagai landasannya.
Selama aku tinggal di gurun sahara sama sekali tidak pernah merasa cemas, bahkan yang ada disana seakan-akan diriku berada di Surga Allah. Aku menemukan ketenangan, kepuasan, dan keridloan, sekalipun banyak orang yang memperolok-olok aliran Jabariyah yang diimani oleh orang-orang Arab pedalaman, dan mereka diejek karena percaya dengan adanya qadha dan qodar.
Akan tetapi, siapa tahu barangkali orang-orang pedalaman itulah yang berhasil mencapai inti hakikat. Bila kubawa ingatanku jauh kebelakang mengingat kembali kehidupan masa lalu, terlihat jelaslah bahwa kehidupanku terdiri dari beberapa episode yang berjauhan sesuai dengan berbagai pristiwa yang terjadi didalamnya, tanpa ada pilihan untuk mempertimbangkan atau menolaknya. Orang-orang Arab menyebut jenis pristiwa ini dengan sebutan taqdir, nasib, atau ketentuan dari Allah; dan Anda boleh menyebutnya dengan istilah apapun yang lebih mengena.
Singkatnya, selang tujuh belas tahun kemudian, sesudah kutinggalkan dunia padang sahara, aku masih tetap memegang prinsip yang telah kuserap dari orang-orang Arab pedalaman itu sehubungan dengan taqdir Allah Swt.. Aku hadapi semua peristiwa yang tiada daya bagiku untuk menghindar darinya dengan perasaan yang penuh dengan keteduhan, kepatuhan, dan ketenangan. Sesungguhnya aku sangat beruntung karena berhasil menyerap pelajaran dari orang-orang Arab pedalaman ini, sehingga membuat emosiku jauh lebih tenang dan lebih teduh ketimbang pengaruh yang diberikan oleh berbagai obat penenang dan jejamuannya."
“Akhirnya, penulis simpulkan betapa indahnya hidup menerima taqdir Allah yang telah menetapkan segala sesuatu sesuai dengan ukuran-Nya. Betapa besar kerugian yang diterima suku pribumi seandainya mereka tidak berkata "ketentuan taqdir berkehendak demikian" atau mereka berkeluh kesah dengan badai yang telah menimpa mereka, Mobil yang meletus banya di tengah perjalanan ketika mengarungi padang sahara dengan sopir yang lupa mempersiapkan ban serep. Bisa anda bayangkan kegilaan dan kebodohan yang akan terjadi terhadap mereka. Disinilah konsep tawakkal dalam Islam perlu kita laksanakan. Penyerahan segala urusan kepada Rab semesta alam yang telah mengatur dengan sangat teliti segala sesuatu.
Sesungguhnya aku teringat kepada-Mu kala bencana yang hitam kelabu datang menimpa diri, sehingga masa terasa penuh dengan noda debu yang pekat.
Maka aku berseru dipenghujung malam dengan menjerit menyebut asma-Mu.
Tiba-tiba muncullah wajah fajar yang tersenyum membawa kecerahan.
Maka aku berseru dipenghujung malam dengan menjerit menyebut asma-Mu.
Tiba-tiba muncullah wajah fajar yang tersenyum membawa kecerahan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home